Arkadia. Diberdayakan oleh Blogger.

Jiwo Enggak Usah Sekolah!



"Jiwo enggak usah sekolah!"

Satu kalimat yang terus diulang-ulang sama mas suami. Satu, belum lama ini ada anak temannya yang tiba-tiba nyeletuk, "Kata ibu guru, orang kafir itu kan jahat, nggak boleh dijadiin temen. Tapi ini kok tante Bunga (bukan nama sebenarnya) baik ya.". Mas suami bilang sama saya, itu anak kecil umurnya belum lima tahun sudah diajari untuk membenci mereka yang beda kepercayaan. Balita yang belum kenal dunia sudah diajari untuk menghakimi kepercayaan orang lain.

Dua, temennya yang lain curhat, pusing karena anaknya minta liburan. Nggak ada yang salah sama liburannya, tapi jadi mumeti karena anaknya minta liburan kayak temen-temennya. Liburan temen-temen yang dimaksud adalah ke London, Hongkong, Singapore, atau minimal Lombok. Kalau nggak diturutin, anaknya nggak mau berangkat sekolah karena minder. Nggak bisa cerita kayak teman-temannya.

Tiga, mas suami semakin hilang selera sama yang namanya sekolah, sejak pilkada Jakarta kemarin. Perang politik berbasis agama dan suku, keluar dari mereka yang berpendidikan tinggi.


Empat, mas suami pernah menulis ini di komputer kami, yang lalu saya kopas mentah-mentah ke sini:
Saya sebetulnya bukan orang yang anti dengan pendidikan konvensional. Tapi, sejauh ini saya tidak pernah melihat hasil yang dicita-citakan oleh sistem pendidikan macam itu. Mentok, keberhasilan sistem ini adalah mereka yang dianggap pintar setelah melampaui standar-standar artificial semu buatan manusia. Paling tidak di mata saya demikian.
Buat saya, mendidik dan menyekolahkan adalah dua hal yang beda. Pendidikan bagi saya merupakan sebuah proses memerdekakan pikir, membuat Jiwo lebih pintar dari sebelumnya, dan memberikan bekal untuk kehidupannya di masa depan.
Nah, pendidikan semacam ini kan nggak hanya bisa diraih di bangku sekolah. Malah menurut saya, sekarang banyak sekolah yang gagal menjalankan fungsi sebagai lembaga pendidikan.
Sekarang ini banyak sekolah yang prosesnya hanya akan diakhiri dengan deretan angka. Bukan peningkatan kemampuan kognisi dan wawasan siswa. Sekarang ini banyak sekolah yang hasil akhirnya hanya sebatas ijazah dan gelar, bukan kecerdasan dan pemahaman atas kehidupan.

Dari empat itu, kesimpulan mas suami sementara adalah: JIWO ENGGAK USAH SEKOLAH!

**

Saya ini produk hasil pendidikan konvesional. Ijazah saya lengkap kap dari TK sampai perguruan tinggi. Semuanya dengan angka-angka yang memuaskan, ya walapun saat kuliah saya ini nyaris d.o, tapi saya sarjana dengan predikat ‘sangat memuaskan’. Frasa membanggakan ini disebut oleh mc di hari wisuda saya, saat saya melenggang ke podium untuk salaman dengan rektor.

Dua belas tahun sekolah ditambah enam tahun kuliah, gila juga yah saya sudah menghabiskan 18 tahun hidup saya untuk pendidikan. Lebih dari separo umur saya buat belajar, mengenyam pendidikan. Edun lah.

Apa ilmu yang saya dapat dari bangku sekolahan? NGGAK ADA! Hahahahahaha saya bahkan udah nggak inget sama sekali rumus ekonomi menghitung margin apalah-apalah itu yang dulu pernah membawa saya mewakili sekolah ikut kompetisi pelajaran ekonomi se-Jawa-Bali.

Enggak deh, nggak usah jauh-jauh pelajaran SMA. Teori komunikasi yang baru kemarin banget saya dapat di bangku kuliah, itu dari puluhan banyaknya, saya cuma inget tiga biji. Saya inget soalnya saya suka. Sisanya hambuh, saya blas nggak inget apa-apa. Padahal wisuda saya itu tahun 2015, sekarang baru 2017 yakan. Se-nggak-nyangkut itu.

Baiklah kalau teori komunikasi juga terlalu jauh, kita bahas teori yang saya bedah di skripsi. Tugas akhir yang baru saya selesaikan satu setengah tahun lalu. Namanya teori Manajemen Komunikasi, saya bedah dengan model boneka matryoschka. Siapa pencetus teorinya? Siapa yaaaaa hahahaha asli, udah nggak inget sama sekali. 

Tapi saya inget isi skripsi saya, kisah hidup 3 lesbian yang coming out di Purwokerto. Saya masih bisa cerita ulang sampai detil satu-satu hidup mereka. Kenapa? Karena saya tertarik belajar tentang mereka, saya mengangkat mereka jadi skripsi karena saya suka. 

Sedangkan teori yang segabruk-gabruk banyaknya itu saya nggak tertarik, saya terlanjur mengenal mereka sebagai hapalan. Sebagai materi yang modulnya tebal-tebal demi angka memuaskan saat ujian akhir. Bukan hal yang menarik sama sekali sejak awal.

Sebagai produk hasil pendidikan konvesional, apakah ilmu dari sekolah dan kuliah yang 18 tahun itu ada gunanya buat saya sekarang? Mmmm, ada sih, tapi mungkin sangat sedikit. Ya, ilmu hitung matematika mah berguna sampai sekarang. Buat itung-itung gaji suami jangan sampai ada yang gobanan keselip nggak ketauan.

Tapi seinget saya, selama hidup, saya nggak pernah merasa kalau tabel kimia yang waktu SMA dulu saya hapalin sampai senep, pernah saya pakai di kehidupan sehari-hari. Karena saya nggak hidup di dunia kimiawi itu, jadi blas nggak terpakai. 

Oh, inget nggak rumus fisika yang menghitung daya katrol atau apalah yang rumit banget itu? Itu juga cuma saya inget sekali pas ujian SMP, trus saya lupakan dan hidup saya nggak pernah meminta saya inget-inget itu lagi. Saya nggak hidup dalam ranah yang harus bersentuhan dengan fisika, jadi sama kayak kimia, blas nggak kepake. Saya lupa SEMUA rumus-rumusnya, dan hidup saya baik-baik aja sampai sekarang.

Waktu SMP dulu saya pernah dapat nilai merah di rapor untuk pelajaran fisika, sekarang saya nggak menyesal sama sekali. Lha wong nggak terpakai, buat apa disesali? Bahkan nilai merah itu nggak membuat saya gagal jadi sarjana ilmu komunikasi. Nilai merah itu nggak membuat saya kehilangan pekerjaan-pekerjaan yang saya inginkan sekarang.

Saya yakin banget temen-temen saya yang dulu nilai pelajaran sejarahnya jeblok, trus sekarang jadi dokter, pasti nggak menyesali angka-angka hancurnya di rapot. Atau teman-teman yang rapotnya kebakaran untuk pelajaran geografi, sekarang jadi penyanyi misalnya, saya yakin seratus persen mereka bahkan nggak ingat kalau mereka pernah payah di hapalan peta dunia.

Bukan, bukan menurut saya ilmu itu nggak penting. Saya orangnya haus ilmu banget, saya baca buku Dewi Lestari yang Supernova seri 1, KPBJ, itu sampai saya googling istilah-istilah fisika yang ada di dalamnya. Saya cari tau banyak-banyak karena saya haus pengetahuan.

Tapi, saya beneran nggak merasa ilmu yang saya dapat di sekolah dan kuliah itu ada manfaatnya. Saya, produk keluaran pendidikan konvesional, hanya jadi robot-robot penghapal yang ngelotok teori tapi buta makna. 

Teori komunikasi, wuidih dulu tiap semester  saya hapal lima sampai sepuluh. Selama kuliah ada kali lima puluh teori yang harus saya hapal. Tapi gitu, teori yang saya hapalkan semester ini, ya buat modal ujian akhir aja. Semester depan udah nggak inget sama sekali, boro-boro diterapkan dalam kehidupan nyata, hari pertama semester baru aja pasti sudah dikasih teori baru lagi. Harus dipelajari sampai ngelotok lagi sebelum UAS datang lagi. Semester depannya lupa lagi, ganti teori lagi. Gitu aja terus sampai sarjana.

Di jurusan kuliah saya, ilmu komunikasi, ada mata kuliah Teknologi Komunikasi, isinya tentang digital-digital gitu deh. Salah satu bab kuliahnya, seluruh mahasiswa ditugaskan membuat blog. Saya sudah jadi blogger waktu itu, sudah menulis di blog berhalaman-halaman. Saat teman-teman lain baru meraba blog itu seperti apa, sahabat blogwalking saya sudah berentet banyaknya. Tapi nilai saya untuk mata kuliah itu: C. Alasannya satu, saya jarang berangkat kuliah. Bolos melulu.

Ada lagi mata kuliah fotografi. Kami diajari mengoperasikan kamera SLR. Diajari pelan-pelan, di kelas, dengan metode ceramah umum, soal apa itu diafragma, apa itu speed, apa itu ISO, yang mana waktu itu saya sudah punya kamera DSLR. Bahkan saya sudah cari uang dengan kamera, dan harus mendengarkan ceramah umum dari nol lagi soal benda yang setiap hari saya pegang.

Nilai saya untuk mata kuliah ini: E. Alasannya, karena absen kuliah saya nggak memenuhi syarat untuk ikut ujian akhir semester. Bolos melulu. Jadi saya nggak boleh hadir saat ujian. Lawak, ya? Tapi saya nggak melawan waktu itu, meskipun kalau ikut ujian, saya yakin saya bisa mengerjakan soal-soal dan praktek-praktek sambil merem. Edun.

Saya benci banget sama pendidikan konvesional. Kita dipaksa mempelajari semua hal, bahkan yang nggak kita suka. Saya nggak suka menghitung, tapi saya terus dipaksa menghapal rumus-rumus fisika dan dibilang tidak pintar saat rapot saya kebakaran. Selama sekolah, nilai bahasa Indonesia saya selalu 9 karena sejak sekolah saya bercita-cita jadi penulis. Kenapa saya harus tetap menghapal rumus-rumus fisika dan dibiarkan jadi tidak pintar?

Kita dijejali dengan hapalan, hapalan, dan hapalan. Luber sama teori tapi buta makna sama sekali. Buat apa?

Kita dipaksa mengejar nilai, mengejar angka-angka di ijazah. Bangga saat kelulusan, melenggang ke podium bersama frasa “Lulus, dengan predikat sangat memuaskan”. Tapi nyatanya memuaskan itu nggak ada manfaatnya buat hidup. Buat apa?

Memangnya kenapa sih kalau saya bolos di mata kuliah yang saya sudah bisa? Toh saya bisa mengerjakan semua soal-soal ujian dengan baik, oh bukan cuma dengan baik, tapi sambil merem. 

Saya ‘kawin’ dengan kamera DSLR, itu karena saya gabung dengan banyak komunitas fotografi. Saya ngobrol sama fotografer-fotografer yang pengalamannya sudah seabrek-abrek. Saya daftar kelas-kelas mereka, walaupun kadang biaya daftarnya selangit dan harus saya bayar dengan sisihan uang jajan. Saya lulus di kelas-kelas itu, sialnya, mereka nggak memberi ijazah konvesional seperti yang diharapkan orang tua saya.

Saya belajar karena saya suka, saya belajar sambil praktek, sambil mencintai, dan betul-betul masuk ke dunianya. Lalu di kampus, untuk hal yang sama persis, saya harus duduk dengerin dosen ceramah tentang teori-teori yang harus saya hapalkan, sambil gerah karena mahasiswanya banyak, sambil ngantuk karena kuliahnya tengah hari bolong, sambil ngurek-ngurek kertas boro-boro dengerin dosen. Semua cuma demi angka-angka memuaskan di ijazah. Buat apa?

Saya capek-capek menempuh pendidikan konvesional, menghabiskan 18 tahun hidup saya di kelas-kelas yang membosankan, cuma untuk mengejar lembar-lembar ijazah. Saya buang sangat banyak waktu, cuma untuk membahagiakan orang tua saya. Karena bagi mereka, pendidikan konvensional adalah harus. Saya menukar waktu, kesempatan, energi, demi gelar sarjana. Gelar yang sampai hari ini, belum pernah keluar lagi dari lemari sejak hari kelulusan. Saya benci banget sama pendidikan konvesional,


TAPI JIWO HARUS SEKOLAH!


**

Ya, saya selalu jadi orang pertama yang menolak keputusan mas suami untuk nggak menyekolahkan Jiwo. Saya bergabung dengan squad bapak ibu mertua, untuk segera daftarkan Jiwo masuk TK. Jiwo harus sekolah.

Nggak akan ada ilmu yang bisa Jiwo dapat di sekolah. Sekolah bikin pinter itu cuma omong kosong. Pendidikan konvesional telah mendidik saya baik-baik untuk membenci pendidikan konvensional itu sendiri. 

Tapi, sekolah juga yang mengajarkan saya sangat banyak hal. Katakanlah yang paling klise, saya belajar bersosialisasi ya dari sekolah. Belajar hidup dalam masyarakat ya di sekolah. Belajar untuk menempatkan diri di antara banyak orang lain, itu saya dapat baik di kelas.

Sekolah dan kuliah memaksa saya mengenal si baik, si kafir, si culun, si tukang bully, si egois, si nakal, si pintar, si lugu, si tukang palak, si pelit. Pendidikan konvesional mengenalkan saya dengan mereka semua. Rupa-rupa manusia yang ada beneran di kehidupan nyata.

Sekolah mengajarkan saya berkompromi dengan banyak hal. Rapot dengan nilai merah lalu dimarahi papa, berbagi uang jajan dengan teman yang kena palak, gagal jadi juara kelas padahal sudah belajar mati-matian, guru killer yang selalu ngomel padahal nggak salah apa-apa, atau sesederhana lagi seneng banget baru beli sepatu warna pink lalu disita guru karena harusnya hitam.

Dunia nggak selamanya berjalan sesuai harapan kita, dan sekolah mengajarkan itu pada saya sejak dulu. Kita harus pintar berkompromi, paling enggak dengan diri sendiri. Sejak saya kelas satu SD lalu ada temen merebut penghapus micky mouse saya dan mengembalikannya dalam keadaan cowal cawel.

Jiwo harus sekolah. Dengan sekolah, Jiwo akan tau kalau dunia itu isinya nggak cuma Bapak, Ibu, Mbah Nah, dan kereta Thomas. Jiwo harus tau rasanya dipukul teman, sampai akhirnya nanti tau kapan harus mengalah kapan harus mengalahkan. Jiwo harus tau rasanya dikasih roti cuma-cuma sama teman dekat, sampai akhirnya paham sendiri tentang menerima dan memberi.

Jiwo harus sekolah. Dengan sekolah, Jiwo akan tau sedihnya melihat teman-teman plesir ke luar negeri, sedangkan Jiwo cuma diajak bapak dan ibu ke curug dekat rumah. Mainan tanah di air terjun. Sampai nanti dia akan paham, bahwa hidup itu penuh rasa, dunia penuh iri dengki bahkan di dalam dirinya sendiri. Rejeki itu beda-beda dan itulah kenapa bersyukur itu sulit.

Jiwo harus sekolah. Dengan sekolah, dia akan tau kalau hidup itu punya aturan. Dunia bukan punya nenekmu jadi bangunlah pagi dan berangkatlah. Sekalipun bisa mengerjakan soal ujian sambil merem, semua tetap ada aturannya, sayang. Andai hidup bisa sebebas gundulmu, apa-apa sa'geleme dewe, barangkali Gusti nggak perlu repot-repot bikin kitab suci. 

Jiwo harus sekolah. Tapi Jiwo nggak harus jadi anak pintar, nggak harus punya nilai bagus, nggak harus jadi juara kelas. Naik kelas aja setiap tahun, itu cukup buat saya. Jangan sampai tinggal kelas, karena biarpun saya nggak akan kenapa-kenapa, tapikan bayar lagi bayar lagi. Rugi, bhok! Hahahahaha

Jiwo harus sekolah. Tapi Jiwo nggak harus mencari ilmu di sekolah. Dia boleh kok punya rapot kebakaran, dia boleh payah di pelajaran-pelajaran yang dia nggak suka. Boleh. Semesta tergelar luas dan seluas itu jugalah ilmu berkeliaran, Jiwo boleh cari dimana aja, nggak harus di sekolah.

Saya mau dia sekolah bukan untuk cari ilmu dari mata pelajaran. Tapi untuk ilmu yang lebih mewah. Ilmu tentang bermasyarakat, tentang berjuang, tentang mengalah dan mengalahkan, tentang orang lain, tentang memberi dan menerima, tentang aturan, tentang menghormati dan membenci, tentang bahagia dan kecewa, tentang tertawa dan menangis, tentang waktu, tentang berkompromi dengan hidup.

**

DAN JIWO JUGA HARUS KULIAH!

Soal satu ini, bebas deh mau kuliah dimana. Bebas mau ambil jurusan apa aja, jurusan yang jarang ada peminatnya juga boleh biar cepet masuk cepet lulus. Enggak ngaruh kok, temen saya banyak tuh sarjana apa kerjanya melenceng jauh kemana. Sarjana pertanian jadi teller bank, sarjana ekonomi jadi reporter, sarjana ilmu komunikasi jadi akuntan. Nggak ngaruh, jadi ambil jurusan apa aja boleh. Satu penginnya saya: Jiwo punya ijazah. Jiwo punya gelar minimal sarjana.

Karena bapak Jiwo, suami saya, dalam hidupnya pernah mengambil keputusan besar yang saya sesalkan. Dia nggak menyelesaikan kuliahnya, nggak punya gelar sarjana, nggak punya ijazah kuliah. Dia mengundurkan diri dari kampus di semester akhir kuliahnya, alasannya sangat minta ditabok, dia nggak mau diluluskan oleh dosen yang pikirannya nggak lebih luas dari dia. Dia nggak mau dibilang pintar hanya karena berhasil melampaui standar-standar artificial semu buatan manusia. 

Meskipun sekarang punya pekerjaan tetap, meskipun sekarang hidup kami baik-baik aja, tapi beberapa kali rumah tangga kami tersangkut kalimat, “Kerja apa pakai ijazah SMA?”. Tarik napas. Buang.

Jiwo harus kuliah. Bukan biar pinter, kuliah nggak akan bikin pinter kok, sumpah. Jiwo harus kuliah biar punya gelar minimal sarjana, karena saya nggak mau di masa depan, Jiwo tersandung kalimat yang sama kayak bapaknya.

Bagus banget kalau Jiwo nggak butuh cari kerja, buka lapangan kerja yang rekrut karyawannya tanpa pandang ijazah tapi skill dan kepribadian. Bagus banget kalau Jiwo bisa sukses melejit kemana-mana, dan bisa bilang kalau gelar dari pendidikan konvesional itu nggak ada gunanya. Bagus banget dan saya nggak melarang sama sekali.

Tapi kemungkinan itu selalu ada dua, baik dan buruk, dan dua-duanya ada di depan mata. Jadi kalau amit-amit yang terbaik nggak terjadi, saya berharap Jiwo sudah siap untuk yang terburuk. Kirim-kirim email lamaran ke sana sini demi kerjaan yang gajinya nggak seberapa. Amit-amit.

Selama sistem pendidikan di Indonesia masih begini. Siswa dituntut ngelotok teori walau buta makna sama sekali. Selama cari kerja di negeri ini masih berlaku; skill dan attitude nomer dua yang penting ijazahnya mana, jiwo harus sekolah, harus kuliah. Iya, cuma buat kejar lembar-lembar ijazah. Maafkan ibu secemen ini ya, nak. 

Cemen tapi realistis.


.

34 komentar

  1. Aku terharuuuuuu :')
    Tapi bener sih, segala teori cuma jadi hapalan doang :(

    BalasHapus
  2. Aku lebih cemen, masih menganggap penting pendidikan, dan blm bisa lepas dari itu.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Lho, pendidikan mah memang penting kan. Dimana cemennya? :D

      Hapus
  3. Balasan
    1. Jan2e aku mbatin nek njenengan bakal komen ng kene. Eh jebul beneran heheheee....
      Podo kro aku berarti, cemen tur gak realitis :D

      Hapus
    2. Anak-anakmu, meskipun ndak duduk di bangku sekolah konvesional, tapi due ijazah, kan. Iku yo realistis namanya. Wong yang penting ya cuma ijazahnya aja hahahahaha Cium juga nih.

      Hapus
  4. Sepemikiran. Sekolah itu yang penting sosialisasinya dan dunia itu luas.

    Selama di Indonesia masih menganut paham ijazah adalah nomor satu selama itu pula pendidikan sekolah hingga menjadi sarjana amat penting demi kelangsungan hidupnya kelak.

    BalasHapus
  5. Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.

    BalasHapus
  6. Sebagian besar gw setuju tulisan lo, makwok. Sekolah mengajarkan bagaimana cara bersosial dan mengetahui bahwa kita hidup bersama orang-orang yang beraneka ragam. Tapi ada satu yang secara pandangan subjektif gw yang ga sepaham yaitu soal "kuliah dan yang penting dapat gelar atau ijazah". Memang betul, bisa dibilang sebagian besar para sarjana saat ini "melenceng" pekerjaan yang dilakukan dari gelar sarjana yang mereka dapati. Tetapi bisa dilihat mereka yang tetap fokus dengan gelar kesarjanaan dan jurusan perkuliahan yang mereka ambil juga tidak sedikit yang membuahkan hasil maksimal. Bahkan mereka tidak harus menjadi karyawan yang digaji, mereka sudah bisa dianggap sebagai tenaga ahli atau profesional, bahkan memiliki lapangan kerja sendiri dan menggaji orang lain. Tapi gw setuju kalau pendidikan sampai tinggi itu penting, bukan untuk gagah-gagahan tapi untuk menerapkan lagi ke orang lain atau untuk membantu orang lain. Wehehehe

    BalasHapus
    Balasan
    1. Lhooo gue berada dalam barisan itu lho. Barisan orang-orang yang pekerjaannya sejalan sama kuliahnya. Walaupun belum profesional dan belum sukses, ya. Tapi pekerjaan gue sekarang sejalan banget sama kuliah gue dulu.

      Hanya aja, gue gamau nutup mata sama kenyataan ini, dimana Indonesia bergelimpangan banget barisan melenceng. Jadi gue mempersilakan Jiwo ambil pilihan sendiri nantinya. Mau kuliah sesuai cita-citanya, atau kuliah yang penting lulus aja demi ijazah, bebas. Boleh dua-duanya :D

      Anw, sehat sehat bumiiiillll :*

      Hapus
  7. Kalo kamu gak pernah belajar fisika n kimia, tulisan ini mungkin bakal kehilangan 1-2 paragrafnya. Kamu gak bakal kepikiran ttg katrol n tabel kimia, wong melajari aja gak pernah. Berarti ada lah dikit2 gunanya belajar fisika kimia, meskipun kayaknya gak ngaruh banyak :D

    Anakku juga harus sekolah n kuliah, biar emaknya ada waktu buat sendiri *alasan apa ini??*

    BalasHapus
  8. Kalau aku, entah kenapa sekarang lebih tertarik sekolah swasta ketimbang sekolah negeri. Aku produk sekolah negeri.
    Dan entah... makin ke sini kok aku kurang sreg. Aku suka kedisiplinan sekolah swasta. Terutama pembentukan karakter dan pengembangan diri yang justru lebih dipake.

    BalasHapus
  9. Jiwo, betapa luas hati ibu bapakmu. Dan mereka adalah guru yang sebenarnya, semoga kamu menjadi anak yang diharapkan oleh orang tua mu ya..Kuat dalam segala gelombang kehidupanmu

    BalasHapus
  10. Cemen tapi realistis.

    Ah ini kesimpulan tulisannya pas banget. Ending tebakan saya salah euy. Ternyata ibuk punya pandangan berbeda dan emang realistis banget.

    Termasuk itu, urusan jangan sampai gak naik kelas karena bakal bayar lagi :D

    Semoga yang terbaik buat Jiwo, Ibu dan Bapak yaa ^_^

    BalasHapus
  11. Sama dengan saya : yang penting anaknya naik kelas. :D

    BalasHapus
  12. aku juga masih mau sekolah, mau kuliah sampai keluar negeri malah. fikiran aku malah sekarang kalau bisa kuliah ke luar negeri dan ntar jangan balik ke indonesia! biar aja hidup baru di sana. jadi ekspatriat 😆

    BalasHapus
  13. Aku jg gk suka sekolah, krn sebel dg guru yg suka beda2in anak pinter dan bodoh. Rese bgtlah, haha, tp anak ttp hrs sekolah spy bs tw macam2 orang. Biarlah dia mw ngisi rapotnya dg nilai spt apa yg pntg akhlaknya baik. Syukur2 klo berprestasi, klo gak pasti ada lah kemampuan dia yg menonjol tgl didukung dikembangkan. Dan senengnya ada sekolah yg gk gt mentingin nilai akademik anak jd aku cukup lega haha

    BalasHapus
  14. saya tinggal bersama keluarga yang mewajibkan ijazah, bahkan kini minimal S2. Meskipun saya tau itu pendidikan konvensional banget, tapi ada visi misi yang ingin saya capai. Dan visi misi itu menurut saya, akan lebih ngena sasarannya apabila saya telah mengantongan s2. Iya, saya ingin berdiri di hadapan mahasiswa setiap hari, tidak hanya untuk mengajari teori ilmu alam, melainkan mengajak mereka untuk turun langsung ke alam dan masyarakat. Semoga terwujud

    BalasHapus
  15. Belajar fisika sama kimia sekarang ada gunanya loh...minimal pas ditanya anak kenapa kok begini kenapa kok begitu, jadi bisa menjelaskan dengan masuk akal... mungkin nunggu Jiwo agak gedean dikit kali ya....


    BalasHapus
    Balasan
    1. Ada gunanya banget memang. Bahkan kamera, benda yang saya pegang setiap hari, itu milih lensanya pun dengan ilmu fisika. Kosmetik yang saya pake setiap hari, itu saya pilih dengan campur tangan ilmu kimia.

      Dont get me wrong, saya bukannya nganggep ilmu nggak ada gunanya. Semua ilmu ada manfaatnya lah pasti. Hanya aja buat saya, rumus fisika dan kimia yang dulu saya pelajari di sekolah, akhirnya cuma jadi hapalan yang sekarang gak ada bekasnya sama sekali. Saya belajar fisika dari novel, dari kelas-kelas fotografi, dari film, bukan dari sekolah. Eh kok panjang sik wkwkwkwk

      Hapus
  16. Speechless, krn emang bener semua yg ditulis :D. Aku jg tipe yg serem abnrnya mau masukin anak sekolah. Ngliat video bully an akhir2 ini yg rasanya pgn ngekekepin anak di rumah trs. Tp dipikir, sampe kapan... Sampe kpn hrs melindungi mereka hanya krn G setuju ama sistem pendidikan di negara sendiri yg msh bnyk terpengaruh budaya sinetron alay?

    Ankku jg hrs sekolah, lbh supaya dia bisa bljr ttg kehidupan, supaya bisa tau apa sbnrnya nanti yg menjadi skill nya, hingga dia bisa fokus di 1 bidang it. Aku ama suami udh sepakat mba, anak g perlu hrs menguasai semua mata pelajaran, ga harus utk jd ranking 1 ato 5 besar. Kita berdua cm pengin anak2 bisa menguasai 1 skill yg trs diasah hingga bisa jd nafkahnya nanti.

    Kalo dia bakat di musik, kuasai, fokus!! Dia suka berenang, latih trus2an, dan jadilah atlet berprestasi. Suka math, ga masalah, asal ttp konsisten mempelajarinya, sampe akhirnya nanti bisa expert di situ. Intinya, kuasai 1 bidang yg kamu memang suka, dan fokus di situ. Itu aja sih yg trs2an kita tekanin k anak. G ptg nilai bgs, kalo attitude buruk. Juara 1, tp rasa kemanusiaannya ke sesama nol. Yg begitu itu yg nantinya hanya jd sampah masyarakt yg akhirnya melahirkan generasi2 rusak lain :D

    BalasHapus
    Balasan
    1. Sepakat sama mba Fanny juga.. Ngeri ya kalo liat kasus bully di mana-mana, dari zaman kita juga udah banyak.. Tapi anak memang harus sekolah.. Aku pun tahun ini masukin Boo ke TK, biar dia belajar sosialisasi belajar berteman, belajar kalau hidup itu ada aturan.. Hidup memang gak bisa seenak udel dewek ya mba.. :) Yang paling penting anak-anak kita jadi anak baik.. Terus jadi terharu kok ya udah mau gede ajaaaa.. :D Selamat sekolah ya Jiwo, semoga hari-hari di sekolah menyenangkan.. Eh, jadi inget2 mba Pungky aku pun dulu pas sekolah kuliah semangatnya karena mau ketemu temen-temen, bukan karena pelajaran.. :D

      Hapus
  17. kamu kok persis aku banget sih, aku fisika juga pernah 4 di rapot. tapi bikin blog nilaiku paling tinggi di kelas hahaha dan teori komunikasi aku masih hafal. 9 prinsip komunikasi aja masih inget sebagian �� tapi ya, kaya suamimu, aku pun stres mikirin xylo ga usah sekolah ��

    BalasHapus
  18. To be honest, I hate school! Itu sebabnya aku nggak pernah menuntut anak-anakku harus punya nilai tinggi dan berprestasi di sekolah. Selama dia bahagia dan pergaulannya tidak melenceng (yang selalu kupantau) I'm fine with that.

    Dan kalau "mampu" dalam artian punya waktu dan kesabaran lebih untuk home schooling akan kupilih home schooling. Sayangnya negeri ini masih menyrmbah selembar ijazah dan prestasi. Too bad.

    BalasHapus
  19. Jauhkan buruknya, ambil baiknya... gitu aja ya mbak. sbg orang tua tugasnya adalah mendampingi... semangaaat....

    BalasHapus
  20. Betul Jiwo.. meskipun suatu saat akan ada pemikiran, "Halah, dulu salah ambil jurusan." tapi ora popo, yang penting punya ijazah karena saat melamar kerja, ijazah dipertanyakan walaupun akhirnya ijazah juga tidak terpakai, hahahaha.

    BalasHapus
  21. Harus dong, sekolah... Biar besok Jiwo bisa ngerasain namanya reunian. :)))))

    Fisika-ku juga 5 di rapor, tapi masuk kelas IPA. Mbuh kenapa.. Trus kuliahnya, di Komunikasi. Jauhhh... :)))

    BalasHapus
  22. Apalagi belakangan ini makin marak kasus bullying antar anak sekolah, tapi Jiwo pasti tumbuh manis. Semangat Jiwo, tetap menginspirasi!

    BalasHapus
  23. Persaingan makin banyak, dan selembar ijazah turut berperan.
    Sekolahlah Jiwo, banyak hal bisa dipelajari di sekolah selain pelajaran konvensional.

    BalasHapus
  24. Jadi ingat pas pelajaran Matematika, 2X + 4 Y bla bla bla. Gak kepake sampe sekarang dikehidupan nyata. Padahal dulu rasanya gagal banget jadi manusia nilai MTK selalu di garis "kemiskinan" 😂.

    BalasHapus
  25. Persis...aku juga ngerasa kalau pendidikan konvensional skr itu bikin anak2 jadi robot dan peran orangtua dalam pendidikan anak-anak mereka justru malah memperpanjang generasi anak-anak manja.

    Pendidikan sekarang lupa mengajarkan tentang Life Skill, dan bagaimana mencari solusi dengan tetap menjaga toleransi akan perbedaan.

    BalasHapus
  26. Dan aku ngakak klimaks di bagian

    "Andai hidup bisa sebebas gundulmu, apa-apa sa'geleme dewe, barangkali Gusti nggak perlu repot-repot bikin kitab suci. "

    Dan masih lanjut rugi bayar sekolah kalau sampai tingal kelas WKWKW.

    Ah awalnya aku kira jiwo gausah sekolah, ternyata mbak pungki emang jagonya men-twist kayak novelist deh.
    Hahaa

    BalasHapus
  27. Tulisan mak Pung mengingatkanku sama orang-orang yang sering tanya kenapa gak lanjut studi pascasarjana karena amat sangat membanggakan gelar berikut ijazahnya... suatu ketika Jiwo mungkin juga akan bertemu dengan mereka.
    *bukan wanti2, cuma numpang curhat #eh

    BalasHapus
  28. Salam hangat Mak Pung, semoga Jiwo dan setiap anak yang lahir di tanah ini punya kesempatan yang sama untuk sekolah... entah nanti akan dipakai atau tidak ijazahnya...

    BalasHapus