Arkadia. Diberdayakan oleh Blogger.

Bersamamu, dari Nol


Saya dan Pungky, lahir dan besar di tengah keluarga yang berada. Tidak kaya raya, tapi sejak kecil, apa yang kami mau selalu ada, selalu cukup. Saat menikah, kami memutuskan untuk sedikit demi sedikit lepas dari bantuan orang tua. Membangun rumah tangga dengan tangan kami sendiri. Sebelumnya kami adalah dua anak yang serba ada, kemudian setelah menikah menjadi sepasang suami istri yang memulai semuanya, dari nol.

Saya kira gampang. Saya sudah hidup selama 26 tahun waktu itu, mengarungi macam-macam kehidupan, dari yang tinggi sampai yang nadir. Jadi kalau cuma membangun rumah tangga, pastilah pekerjaan sepele. Kenyataannya jauh sekali. Menjalani pernikahan itu, the biggest leap in a mans life. Semuanya serba asing, serba kejutan, serba membuat saya kewalahan.

Sebelum meminta Pungky menjadi istri, saya pernah janji pada diri sendiri, saya tidak akan jadi laki-laki yang mengajak pasangannya hidup susah. Saya tidak pernah meminta Pungky mau diajak susah, tidak memintanya untuk bersiap mengarungi badai. Tapi dalam pernikahan, kejutan itu nyatanya terjadi setiap saat. Saya dan Pungky pernah diterjang bukan sekedar badai, namun kiamat kecil yang sukses membalikkan perahu kami di tengah laut lepas, dan menghanyutkan kayu-kayunya jauh sekali. Kami berenang dalam ketidaksiapan, nyaris saja tenggelam.


Kami pernah makan pakai terasi bakar dan garam, sebab uang yang kami punya tinggal enam ribu rupiah. Waktu itu terasa nikmat sekali, seperti makan nasi goreng tapi tidak pedas, makan berdua sambil tertawa-tawa karena rasanya nelangsa, tapi kami memilih menertawakannya. Bahkan kami pernah puasa, menahan lapar sebab nasi yang tersisa, hanya cukup untuk Jiwo. 

Penghasilan saya pernah habis di hari ketiga di awal bulan, untuk bayar hutang-hutang, kemudian kami menjalani 27 hari berikutnya dengan banyak rasa lapar. Dulu saya tidak membayangkan kalau pernikahan akan membuat saya mengarungi lautan yang ini; yang penuh kasihan. Waktu itu saya merasa gagal sebagai suami. Pungky, perempuan yang selama hidupnya selalu terpenuhi apa-apanya, bersama saya lantas menyicip kesusahan. Jangankan beli tas baru seperti teman-temannya, makan saja tidak bisa.

Kemudian saya pergi ke kantor dengan laju motor berkecepatan tinggi, pikir saya waktu itu, jika saya kecelakaan dan meninggal dunia, Pungky dan Jiwo akan dapat klaim asuransi dengan jumlah banyak. Uang yang sangat cukup untuk membuat hidup mereka berkecukupan untuk beberapa saat. Dengan begitu, saya menunaikan tugas saya sebagai kepala keluarga, membawa perahu kami berlabuh tanpa kekurangan satu apapun. Istri dan anak saya berlayar dengan selamat, sekalipun harus dibayar nyawa.

Frank Sinatra bernyanyi di mesin pemutar lagu di hape saya. I've been a puppet, a pauper, a pirate, a poet, a pawn and a king. I've been up and down and over and out and I know one thing. Each time I find myself flat on my face, I pick myself up and get back in the race. That's life.

Begitulah hidup, katanya. Kita akan di atas, akan juga di bawah, atau sangat di bawah. Saya lantas mengingat Jiwo yang selalu mengintip di jendela setiap saya pulang kerja, sambil teriak-teriak senang "Bapak..", menyambut saya dan memaksa ibunya segera membukakan pintu. Bocah itu selalu bahagia melihat saya kembali ke rumah, walaupun sudah dua hari saya hanya bisa memberi dia makan nasi pakai kecap.

Saya mengingat Pungky yang tidur di dada saya saban malam, "Ngetek dong.." begitu dia bilang setiap lampu kamar sudah dimatikan. Menaruh kepalanya di atas degupan jantung saya, dan tangan kanannya melingkari tubuh saya. Dia tetap di samping saya, menggenggam tangan saya, sekalipun perahu kami sedang diterjang badai besar. Dia tetap bersama saya, walaupun hari itu harus puasa sebab kami tak punya sepeser pun untuk makan.

**

Sekarang laut kami sedang tenang, perjalanan kami terasa lancar dan membahagiakan. Sudah lama sekali kami tidak terpelanting ke titik nadir itu lagi, dan saya bersyukur luar biasa pada Tuhan. 

Mengajak Pungky ke mall, melihat dia membayar lipstick yang ia incar dengan uang yang saya berikan, menjadi pemandangan yang tidak tergantikan. Pungky selalu membeli kosmetik bahkan baju dengan uangnya sendiri, dia tidak pernah merajuk untuk keperluan pribadinya karena tau penghasilan saya (dulu) tidak bisa mencukupi itu. Sebatang lipstick yang saya belikan - empat puluh lima ribu kalau tak salah - bisa membuatnya merangkul tangan saya dan cengengesan sepanjang perjalanan pulang sebab terlampau senang.

Membawa Jiwo ke restoran, memesan kentang goreng dan saus tomat kesukaannya, rasanya bahagia betul saya sebagai Bapak. Dia habis banyak lalu esoknya, akan bercerita pada si mbah kalau kemarin makan flen flais (french fries). Kebanggaan anak dalam sepiring kentang.

Kami pernah nyaris tenggelam, saya pernah putus asa dan mempersilakan ombak melumat rumah tangga kami hingga karam. Tapi saya melihat Pungky dan Jiwo masih bertahan, mereka masih berusaha berenang. Menggapai sebisanya, mengais kayu-kayu terdekat dan bernapas walau ngap-ngapan. Tetap bersama saya, menemani berjuang. Saya lantas bertekad untuk menyelamatkan mereka dengan kerja lebih keras, bukan mengalah pada hantaman badai.

Tidak ada yang dapat menyelamatkan rumah tangga kami selain kami berdua, selain genggaman tangan yang berusaha setia untuk tetap erat. Membangun rumah tangga adalah perjalanan dari nol, sungguh-sungguh dari nol. Berjuang sendirian itu tai kucing, butuh kesetiaan yang bukan sekedar di atas surat cinta, dan ikhlas, untuk menjalani semuanya, sama-sama.

Badai pasti berlalu itu cuma lirik lagu, karena kenyataannya, roda kehidupan akan selalu memutar pernikahan kita ke badai yang sama. Pilihannya hanyalah, bertahan bersama atau karam.



.


28 komentar

  1. Asli saya kok jadi mewek bacanya. Sungguh pasangan terkuat 😊 semoga selalu dilimpahi kebahagiaan ya

    BalasHapus
  2. sebuah catatan yang mesti dibaca oleh manusia pra dewasa yang sudah kebelet nikah.

    Tulisan yang menggambarkan bahwa keputusasaan bisa menginfeksi siapa saja, tapi dalam keluarga separah apapun badai menerjang, pilihannya ada dua bertahan bersama atau karam

    BalasHapus
  3. Nangis sesenggukan udaaahhh😂😭😭😭

    BalasHapus
  4. Aaaaah kereeen. Saya benar-benar tertegun dan tersenyum tipis setelah baca postingan ini. Benar-benar mengetuk pintu hati saya sebagai istri baru :')

    BalasHapus
    Balasan
    1. Kereenn...aku jadi tahu kalau ternyata akan ada hal2 yg tak terduga dalam hubungan pernikahan.

      Hapus
  5. Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.

    BalasHapus
  6. Semoga pernikahan kalian selalu membawa keberkahan selamanya yaaaa, aamiin :)

    BalasHapus
  7. Mba Pungkyy, aku nangis + terharu bacanya. What a grateful life you've been into :'(

    BalasHapus
  8. Tulisannya nyesss,, merasuk ke kalbu 😭

    BalasHapus
  9. Setiap pernikahan memang lain-lain masalahnya. Tapi apapun itu, masalah yang ada, bisa berdampak sama dengan pernikahan orang lain. Aku gak tahu masalah apa yang kalian punya, tapi rasa-rasanya rumah tanggaku mulai menyentuh titik nol itu lagi, setelah 9 tahun usia pernikahan.

    Benar kata kamu. Badai memang pasti berlalu. Tapi roda kehidupan tetap berputar. Badai yang lain sedang menanti saatnya tiba.

    Dan aku berharap bisa jadi seperti Pungky, yang selalu belanja keperluan pribadi dari hasil jerih payah sendiri, tanpa perlu meminta ke suami lagi.

    Terima kasih. Tulisanmu tulus sekali.

    BalasHapus
  10. Semoga selalu bisa menembus badai bersama ya :)

    BalasHapus
  11. Beneran baca sambil sangu tisu. Pas ekonomi keluarga kami juga sedang badai. Tapi tulisan ini bikin saya jadi mengevaluasi banyak hal.

    BalasHapus
  12. Dulu saya pernah berpikir bahwa pernikahan itu isinya hanya senaaang saja karena setiap hari bersama orang yg dicinta. Nyatanya pernikahan tdk sesederhana itu hehe...
    Saya juga pernah berada di titik tempat Pungky dan suami berada dulu.
    Semoga pasangan2 lain yg sedang berada di titik itu bisa terus berjuang saling berpegangan saling mengingatkan utk tdk menyerah.

    BalasHapus
  13. Duhhhh.... tulisaanmu indah sekali mas. Tetap berlayar bersama dgn pungky dan jiwo yaaa ��

    BalasHapus
  14. Hai Jiwo, kamu punya bapak dan ibu yang akan selalu menggenggam tanganmu dan memelukmu. Salam buat mereka berdua ya, Nak. Bahagia selalu :)

    BalasHapus
  15. Sebuah kesalahan membaca ini di kantor. Udah 'mbrambangi' mata ini

    BalasHapus
  16. Tulisan bapak jiwo berhasil ngerem aku ngebet nikah.. Ahahha

    BalasHapus
  17. Terharu. Kak Pungky emang keren. Setiaaa, pelajaran banget untuk aku biar bisa setia kayak kak Pungky

    BalasHapus
  18. Pengalaman pahit sering terasa manis saat diceritakan ulang saat terbebas dari kepahitan tsb.
    Semoga bisa menjadi pelajaran bagi yg membacanya.

    Semoga selalu happy ending ya Bapak Ibunya Jiwo.

    BalasHapus
  19. haru berat, karena 3 tahun saya harus alami badai yang membuat sangat depresi akinbat ulah ibu kandung sendiri. Berulangkali saya ingin tentamen suicide karena tidak tahan menanggung perilaku buruknya. Untung suamni dan anak menguatkan. Mereka membuat saya bertahan. Dan ibu? Meninggal dengan tragis seakan harus membayar semua perilaku seumur hidupnya yang selalu mengumbar hasrat sesat. Seakan Allah tahu ada batas yang sanggup ditanggung hamba-Nya. Diakhiri kala segalanya kian berat. Ya, fitnah dan keserakahan adalah hal paling berat. Namun ini hanya siklus hidup, Mas. Selalu akan ada badai dalam bentuk apa pun. Siap atau tidak, kelak kita harus menghadapinya karena demikianlah siklus kehidupan penuh perulangan.
    Yang kuat dan tegar, Mas. Anak dan istri mengandalkan pelindung dan pengayom yang kukuh.
    Salam kenal unyuk Mas, meski saya dah lama kenal Mbak Pungky lewat blog. Saya baru nongol lagi. :)

    BalasHapus
  20. Salut banget, salut salut. Baca ini berasa banget gambaran pernikahan yang bakalan semua orang alami nanti. Semangat mba pung, mas topan!!

    BalasHapus
  21. Baru baca ini di Februari 2018 dan terharu :"))))
    Rasanya jadi pembelajaran buat yang mau married :")

    BalasHapus