Mulai belajar Nakal

Namanya anak udah 20 bulan yah, mungkin emang udah waktunya ngerti macem-macem, termasuk bagaimana jadi anak nakal yang baik. Pfft. Malesin juga sebenernya, selama ini kan Jiwo itu anak yang baik, penurut, ngalahan banget sama temennya, dan sangat gampang dibilangin. Tapi ya beginilah proses tumbuh kembang anak. Sudah waktunya saya harus berhadapan dengan balita yang sudah bisa memerhatikan dan meniru sekitarnya, termasuk soal merebut, protes, memukul, bahkan mogok jadi anak baik. Coba, siapa yang paling nelangsa di sini? Siapa? Siapa? *gantung diri*

Sekarang, Jiwo sering main sama teman-temannya di masjid. Jadi, di dekat rumah kami ada masjid yang jadi tempat kumpul balita-balita setiap pagi. Kayak beskem gitu... mungkin karena pengasuh-pengasuhnya bingung ya mau ngumpul dimana, jadilah masjid yang sepi kalau pagi itu dijadikan tempat nongkrong. Lumayan juga kan, sambil ngasuh anak majikan, sambil gosip atau berbagi makanan. Malah kadang pengasuhnya Jiwo baru berangkat ke masjid, kalau sudah ada sms dari teman sesama pengasuh. Jadi semacam panggilan ranger gitu. Muahahaha

Nah, anak-anak di masjid ini, gak cuma dua atau tiga orang. Tapi delapan sampai sepuluh anak! Kebayang dong, sepuluh anak dengan pola pengasuhan di rumah yang berbeda-beda. Belum lagi karakter pengasuh juga berbeda-beda. Dan Jiwo bersosialisasi dengan mereka ketika usianya memasuki tahap memerhatikan dan meniru lingkungan. Yaudah, saya bagian pasrah. Pasrah kalau tiba-tiba Jiwo mukul kepala saya karena di masjid ada anak yang sering memukul. Pasrah kalau Jiwo tiba-tiba merebut hp yang sedang saya pakai lalu dilempar ke lantai. Pasrah kalau Jiwo tiba-tiba menjerit dan marah saat mainannya dimainkan temannya padahal dia terkenal anak yang ngalahan.

Mau gimana lagi? Masa saya harus mengurung dia di rumah atau melarang dia main sama teman sebayanya, hanya karena takut dia belajar yang jelek-jelek? Masa saya membiarkan dia setiap hari main sendiri dengan mainannya di rumah, supaya dia sekalian tidak usah bersosialisasi dengan siapapun kecuali keluarga?

Saya dan suami, memilih membiarkan dia bersentuhan dengan teman-temannya yang punya aneka watak dan sifat agar dia bisa belajar tentang banyak manusia. Jadi yang dia tau gak cuma ibu, bapak dan pengasuhnya aja. Takutnya, kalau setiap hari dia cuma tau yang baik-baik, nanti sekalinya ketemu teman nakal, dia malah jadi korban empuk buat dinakali karena gak pernah belajar soal anak nakal.

Tapi, tentunya gak kami lepas gitu aja.. Membiarkan dia bersentuhan dengan banyak temannya, berarti menambah kewajiban kami sebagai orang tua. Setiap dia tiba-tiba dapet pelajaran nakal baru, di rumah, selalu kami ulang-ulang kalau yang baik itu yang bagaimana. Tentu berlawanan dengan yang dia dapat dari temannya yang nakal. Kami ulangi terus sampai dia mengerti dan bahkan bisa dia praktekkan di depan teman-temannya. Kewalahan sih.. karena setiap hari, adaaa aja hal nyebelin baru yang dia bawa pulang. Tapi seperti kata iklan deterjen, gak kotor gak belajar. Yang penting kan kami di rumah juga berusaha menjaga dia supaya tetap baik-baik, sambil dia belajar tentang anak nakal dari teman-temannya. Hihi Bissmillah deh.. ^_^